Bukan Dengan Semen, Candi Disambung Dengan Teknik Sambung Batu Tingkat Tinggi
Sebelum mengenal agama samawi (Islam, Kristen, Katolik), Indonesia pernah menjadi negara tempat berkembangnya agama Ardi (Hindu dan Budha). Bukan hanya berkembang, pada masanya agama ardi di Indonesia juga terbilang maju.
Bahkan beberapa tempat ibadah agama ardi seperti candi-candi di Indonesia juga dianggap suci bagi orang mancanegara. Salah satu candi yang termasuk ke dalam candi suci di bagi penganut agama ardi di seluruh dunia adalah candi Borobudur yang sampai saat ini masih dijadikan tempat ibadah bagi umat buda dari berbadai negara.
Candi Borobudur merupakan candi yang dibangun di era Kerajaan Medang pada Abad ke-9 atas perintah Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra. Sejak awal didirikan, candi ini memang diperuntukkan untuk menjadi tempat ibadah bagi warga sekitar. Namun karena kondisi yang kurang kondusif pada saat itu, bangunan suci ini sempat terlupakan bahkan hilang dari catatan Sejarah. Sampai akhirnya di tahun 1814 di bawah komando Sir Thomas Stamford Raffles yang dibantu sekitar 200 warga sekitar Magelang, Candi Borobudur kembali ditemukan. Hingga di tahun 1991, candi Borobudur dinobatkan sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO.
Tapi hal tersebut masih belum mengungkap misteri kasat mata dari candi Borobudur ini. Metode pemasangan batuan yang digunakan untuk membangun candi Borobudur juga sempat menjadi misteri yang butuh waktu lama untuk dipecahkan. Karena jika diperhatikan lagi, batuan yang digunakan untuk membangun candi Borobudur dan candi-candi lain di Indonesia tidak ada yang menggunakan semen atau perekat lainnya untuk dapat saling menempel namun mereka dapat berdiri kokoh bahkan hingga ratusan tahun lamanya.
Hingga akhirnya setelah melalui banyak penelitian, ditemukan hipotesis bahwa pembuatan candi Borobudur dan candi-candi lain di Indonesia ini merupakan hasil dari penerapan metode sambung batu untuk membuat batuan candi saling merekat. Untuk pengerjaan Candi Borobudur sendiri ditemukan empat teknik sambung batu yang digunakan, artikel kali ini akan membahasnya lebih mendalam bersama kalian.
Pemasangan batuan candi dengan metode ini merupakan yang paling banyak ditemukan pada dinding bangunan candi Borobudur. Metode ini menggunakan bentuk trapesium atau segitiga pada sisi batu untuk membuatnya dapat saling terhubung antara satu sama lain.
Proses penyambungan batuan candi dengan metode ini memanfaatkan bentuk segi empat atau persegi panjang pada sisi batu yang akan disambungkan. Metode ini lebih banyak ditemukan pada bagian kala, doorpel, relung, dan gapura candi.
Dari seluruh metode penyambungan batuan candi Borobudur, metode ini merupakan metode yang cukup susah. Metode ini banyak ditemukan pada langkan selasar dan batu ornamen maraca di area kiri dan kanan selasar candi Borobudur. Teknik ini menggabungkan antara bentuk alur pada salah satu sisi dan bentuk lidah atau tonjolan pada sisi lain.
Ide yang sederhana pada masanya tersebut menjadi ide dan penemuan besar pada masa ini. Jika warga negara Indonesia dapat melestarikan teknik tersebut, maka Indonesia akan memiliki teknik konstruksi khas bangsa sendiri.
Bukan Dengan Semen, Candi Disambung Dengan Teknik Sambung Batu Tingkat Tinggi
Sebelum mengenal agama samawi (Islam, Kristen, Katolik), Indonesia pernah menjadi negara tempat berkembangnya agama Ardi (Hindu dan Budha). Bukan hanya berkembang, pada masanya agama ardi di Indonesia juga terbilang maju.
Bahkan beberapa tempat ibadah agama ardi seperti candi-candi di Indonesia juga dianggap suci bagi orang mancanegara. Salah satu candi yang termasuk ke dalam candi suci di bagi penganut agama ardi di seluruh dunia adalah candi Borobudur yang sampai saat ini masih dijadikan tempat ibadah bagi umat buda dari berbadai negara.
Candi Borobudur merupakan candi yang dibangun di era Kerajaan Medang pada Abad ke-9 atas perintah Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra. Sejak awal didirikan, candi ini memang diperuntukkan untuk menjadi tempat ibadah bagi warga sekitar. Namun karena kondisi yang kurang kondusif pada saat itu, bangunan suci ini sempat terlupakan bahkan hilang dari catatan Sejarah. Sampai akhirnya di tahun 1814 di bawah komando Sir Thomas Stamford Raffles yang dibantu sekitar 200 warga sekitar Magelang, Candi Borobudur kembali ditemukan. Hingga di tahun 1991, candi Borobudur dinobatkan sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO.
Tapi hal tersebut masih belum mengungkap misteri kasat mata dari candi Borobudur ini. Metode pemasangan batuan yang digunakan untuk membangun candi Borobudur juga sempat menjadi misteri yang butuh waktu lama untuk dipecahkan. Karena jika diperhatikan lagi, batuan yang digunakan untuk membangun candi Borobudur dan candi-candi lain di Indonesia tidak ada yang menggunakan semen atau perekat lainnya untuk dapat saling menempel namun mereka dapat berdiri kokoh bahkan hingga ratusan tahun lamanya.
Hingga akhirnya setelah melalui banyak penelitian, ditemukan hipotesis bahwa pembuatan candi Borobudur dan candi-candi lain di Indonesia ini merupakan hasil dari penerapan metode sambung batu untuk membuat batuan candi saling merekat. Untuk pengerjaan Candi Borobudur sendiri ditemukan empat teknik sambung batu yang digunakan, artikel kali ini akan membahasnya lebih mendalam bersama kalian.
Pemasangan batuan candi dengan metode ini merupakan yang paling banyak ditemukan pada dinding bangunan candi Borobudur. Metode ini menggunakan bentuk trapesium atau segitiga pada sisi batu untuk membuatnya dapat saling terhubung antara satu sama lain.
Proses penyambungan batuan candi dengan metode ini memanfaatkan bentuk segi empat atau persegi panjang pada sisi batu yang akan disambungkan. Metode ini lebih banyak ditemukan pada bagian kala, doorpel, relung, dan gapura candi.
Dari seluruh metode penyambungan batuan candi Borobudur, metode ini merupakan metode yang cukup susah. Metode ini banyak ditemukan pada langkan selasar dan batu ornamen maraca di area kiri dan kanan selasar candi Borobudur. Teknik ini menggabungkan antara bentuk alur pada salah satu sisi dan bentuk lidah atau tonjolan pada sisi lain.
Ide yang sederhana pada masanya tersebut menjadi ide dan penemuan besar pada masa ini. Jika warga negara Indonesia dapat melestarikan teknik tersebut, maka Indonesia akan memiliki teknik konstruksi khas bangsa sendiri.